Sah dan batalnya akad

 

A.    Pengertian Akad

Menurut segi etimologi, akad antara lain berarti:
الرَّبْطُ بَيْنَ أَطْرَافِ الشَّىءِ سَوَاءٌاَكَانَ رَبْطًا حِسِّيًّا اَمْ مَعْنَوِيًّا مِنْ جَانِبٍ اَوْ مِنْ جَانِبَيْنِ.
Artinya:
“Ikatan antara dua perkara, baik ikatan secara nyata atau ikatan secara maknawi, dari satu segi maupun dua segi.”
Bisa juga berarti العقدة (sambunga) dan العهد  (janji)
Menurut segi terminologi, secara umum pengertian akad dalam arti luas sama dengan pengertian akad dari segi bahasa menurut pendapat ulama Syafi’iyah, Makiliyah, dan Hanabilah, yaitu segala sesuatu yang dikerjakan seseorang berdasarkan keinginannya sendiri, seperti wakaf, talak, pembebasan, atau sesuatu yang pembentukannya membutuhkan keinginan dua orang seperti jual-beli, perwakilan, dan gadai.[1]
Firman Allah dalam surat Al-Muzammil ayat 20:
...وَاَخَرُوْنَ يَضْرِبُوْنَ فِى الأَرْضِ يَبْتَغُوْنَ مِنْ فَضْلِ اللَّهِ...
Artinya: “…dan sebagian mereka berjalan di bumi mencari karunia Allah…”.[2]

B.     Pembentukan Akad

1.      Rukun Akad
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rukun akad ialah ijab dan qabul. Adapun orang yang menagadakan akad atau hal-hal lainnya yang menunjang terjadinya akad tidak dikategorikan rukun sebab keberadaannya sudah pasti.[3]
Ulama selain Hanafiyah berpendapat bahwa akad memiliki tiga rukun, yaitu:
a.       Orang yang berakad (aqid). Contoh: penjual dan pembeli.
b.      Sesuatu yang diakadkan ( mauqud alaih). Contoh: harga atau yang dihargakan.
c.       Shighat, yaitu ijab dan qabul.
2.      Syarat Akad
Syarat keabsahan akad, adalah syarat tambahan yang dapat mengabsahkan akad setelah syarat in’iqad tersebut dipenuhi. Setelah rukun akad terpenuhi beserta beberapa persyaratannya yang menjadikan akad terbentuk , maka akad sudah terwujud. Akan tetapi ia belum dipandang sah jika tidak memenuhi syarat-syarat tambahan yang terkait dengan rukun-rukun akad, yaitu:[4]
a.       Pernyataan kehendak harus dilaksanakan secara bebas. Maka jika pernyataan kehendak tersebut dilakukan dengan terpaksa, maka akad dianggap fasid.
b.      Penyerahan obyek tidak menimbulkan madlarat.
c.       Bebas dari gharar, adalah tidak adanya tipuan yang dilakukan oleh para pihak yang berakad.
d.      Bebas dari riba.

C.    Pembagian dan Sifat Akad

1.      Akad Batil (Batal)
1)      Pengertian
Kata “bathil” berasal dari bahasa Arab yang berarti batal, sia-sia, tidak benar. Batal diatrikan sebagai tidak berlaku, sia-sia, tidak sah. Ahli-ahli hukum Hanafi mendefinisikan akad batil secara singkat sebagai “akad secara syarak tidak sah pokok dan sifatnya. Yang dimaksud dengan akad yang pokoknya tidak memenuhi ketentuan syarak dan karena itu tidak sah adalah akad yang tidak memenuhi seluruh rukun yang tiga dan syarat terbentuknya akad yang tujuh, sebagaimana yang telah disebutkan. Apabila salah satu saja dari rukun dan syarat terbentuknya akad tersebut tidak terpenuhi, maka akad itu disebut akad batil yang tidak ada wujudnya. Apabila pokoknya tidak ada, otomatis tidak sah sifatnya.[5]


2)      Hukum Akad Batil
Hukum akad batil, yaitu akad yang tidak memenuhi rukun dan syarat terbentuknya akad, dapat diringkas sebagai berikut :
a)      Bahwa akad tersebut tidak ada wujudnya secara syar’i (secara syar’i tidak pernah dianggap ada), ada oleh karena itu tidak melahirkan akibat hukum apa pun. Para pihak tidak dapat menuntut kepada yang lain untuk melaksanakan akad tersebut. Pembeli tidak dapat menuntut penyerahan barang dan penjual tidak dapat menuntut harga.
b)      Bahwa apabila telah dilaksanakan oleh para pihak, akad batil itu wajib dikembalikan kepada keadaan semula pada waktu sebelum dilaksanakannya akad batil tersebut.
c)      Akad batil tidak berlaku pembenaran dengan cara memberi izin misalnya, karena transaksi tersebut didasarkan kepada akad yang sebenarnya tidak ada secara syar’I dan juga karena pembenaran hanya berlaku terhadap akad maukuf.
d)      Akad batil tidak perlu di-fasakh (dilakukan pembatalan) karena akad ini sejak semula adalah batal dan tidak pernah ada. Setiap pihak yang berkepentingan dapat berpegang kepada kebatalan itu, seperti pembeli berpegang terhadap kebatalan dalam berhadapan dengan penjual dan penjual berhadapan dengan pembeli.
e)      Ketentuan lewat waktu (at-taqadum) tidak berlaku terhadap kebatalan. Apabila seseorang melakukan akad jual beli tanah, misalnya, dan akad itu adalah akad batil, dan penjual tidak menyerahkan tanah itu kepada pembeli, kemudian lewat waktu puluhan tahun, dimana pembeli menggugat kepada penjual untuk menyerahkan tanah tersebut, maka penjual dapat berpegang kepada kebatalan akad berapa pun lamanya karena tidak ada lewat waktu terhadap kebatalan.[6]

2.      Akad Fasid
1)      Pengertian
Kata “fasid” berasal kata Arab dan merupakan kata sifat yang berarti rusak. Kata bendanya adalah fasad dan mafsadah yang berarti kerusakan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dinyatakan, “fasid” suatu yang rusak, busuk (untuk perbuatan, pekerjaan, isi hati).
Fasid, menurut ahli hukum Hanafi, adalah akad yang menurut syarak sah pokoknya, tetapi tidak sah sifatnya. Perbedaannya dengan akad batil adalah bahwa akad batil tidak sah baik pokok maupun sifatnya.
2)      Hukum Akad Fasid
a.       Pendapat Mayoritas (Jumhur)
Mayoritas ahli hukum Islam, Maliki, Syafi’i dan Hambali, tidak membedakan antara akad batil dan akad fasid. Keduanya sama-sama merupakan akad yang tidak ada wujudnya dan tidak sah, karenanya tidak menimbulkan akibat hukum apa pun. Ketidaksahannya disebabkan oleh karena akad tersebut tidak memenuhi ketentuan undang-undang syarak
b.      Pandangan Mazhab Hanafi
Teori akad fasid merupakan kekhususan mazhab Hanafi, yang membedakan akad batil dan akad fasid. Akad batil sama sekali tidak ada wujudnya dan tidak pernah terbentuk karena tidak memenuhi salah satu rukun atau salah satu syarat terbentuknya akad. Sedang akad fasid telah terbentuk dan telah memiliki wujud syar’I, hanya saja terjadi kerusakan pada sifat-sifatnya karena tidak memenuhi salah satu syarat keabsahan akad.
Hukum akad fasid dibedakan antara sebelum dilaksanakan (sebelum terjadi penyerahan objek) dan sesudah pelaksanaan sesudah terjadi penyerahan objek):
a)      Pada asasnya, akad fasid adalah akad tidak sah karena terlarang, dan pada asasnya tidak menimbulkan akibat hukum dan tidak pula dapat diratifikasi, bahkan masing-masing pihak dapat mengajukan pembelaan untuk tidak melaksanakannya dengan berdasarkan ketidaksahan tersebut, dan akad fasid wajib di-fasakh baik oleh para pihak maupun oleh hakim.
b)      Sesudah terjadinya pelaksanaan akad (dalam pelaksanaan berupa penyerahan suatu benda, maka sesudah penyerahan benda dan diterima oleh pihak kedua), akad fasid mempunyai akibat hukum tertentu, yaitu, menurut mazhab Hanafi, dapat memindahkan hak milik. Hanya saja, hak milik ini bukan hak milik sempurna dan mutlak, melainkan suatu pemilikan dalam bentuk khusus, yaitu penerima dapat melakukan tindakan hukum terhadapnya, tetapi tidak dapat menikmatinya
3.      Akad Maukuf
1)      Pengertian
Kata “maukuf’ diambil dari kata Arab, mauquf, yang berarti terhenti, tergantung, atau dihentikan. Ada kaitannya dengan kata maukif yang berarti “tempat perhentian sementara, halte.” Bahkan satu akar kata dengan “wakaf”. Wakaf adalah tindakan hokum menghentikan hak bertindak hokum si pemilik atas miliknya dengan menyerahkan milik tersebut untuk kepentingan umum guna diambil manfaatnya. [7]
2)      Sebab Akad Menjadi Maukuf.
Sebab kemaukufan akad ada dua, yaitu:
a)      Tidak adanya kewenangan yang cukup atas tindakan hukum yang dilakukan dengan kata lain kekurangan kecakapan
b)      Tidak adanya kewenangan yang cukup atas objek akad karena adanya hak orang lain pada objek tersebut.

Para pihak yang akadnya maukuf karena tidak adanya kewenangan yang cukup atas tindakan yang mereka lakukan adalah:
1.      Mumayyiz (remaja yang belum dewasa).
2.      Orang sakit ingatan yang kurang akalnya dalam memahami tindakannya, tetapi tidak mencapai gila.
3.      Orang pander yang memboroskan harta kekayaannya, yang dalam hukum Islam disebut safih.
4.      Orang yang mengalami cacat kehendak karena paksaan (bagi pendapat yang menjadikan paksaan sebagai sebab maukufnya akad, bukan sebab fasidnya akad).
4.      Akad Nafidz Gair Lazim
1)      Pengertian
Ialah akad nafiz yang difasakhkan oleh masing-masing pihak, atau hanya oleh salah satu pihak yang mengadakan akad tanpa memerlukan persetujuan pihak lain.[8]
2)      Hukum Akad Nafidz Gair Lazim
Terdapat beberapa macam akad yang memang sifat aslinya terbuka untuk di-fasakh secara sepihak oleh salah satu pihak tanpa persetujuan pihak lain. Disamping itu, terdapat pula akad yang salah satu pihak mempunyai hak khiyar (opsi) untuk meneruskan atau mem-fasakh akadnya, baik karena hak khiyar (opsi) itu dimasukkan dalam perjanjian sebagai bagian dari klausulnya, maupun karena ditetapkan syarak.
a. Akad yang sifat aslinya terbuka untuk di-fasakh secara sepihak
Ada beberapa akad dalam hukum Islam yang sifat asli akad tersebut tidak mengikat, baik kedua belah pihak maupun salah satu pihak, sehingga dapat di-fasakh secara sepihak tanpa persetujuan pihak lain. Akad ini sering pula disebut akad jaiz. Termasuk akad yang sifat aslinya tidak mengikat kedua belah pihak adalah akad wakalah (pemberi kuasa), syirkah (persekutuan), akad hibah, akad wadiah (penitipan), dan akad ariah (pinjam pakai). Termasuk akad yang hanya mengikat satu pihak dan tidak mengikat kepada pihak lain adalah akad gadai (ar-rahn) dan akad kafalah (penangguhan).

b. Beberapa macam khiyar
Ada banyak jenis khiyar dalam akad. Sebagiannya terkait dengan sifat akad sehingga membuat akad tidak mengikat secara penuh, antara lain:
1)      khiyar syarat, yaitu (hak opsi) yang disyaratkan oleh salah satu atau kedua belah pihak dalam akad bahwa mereka mempunyai hak untuk membatalkan akad dalam waktu tertentu dan jika tidak dibatalkan selama waktu itu, maka akadnya berlangsung (tidak batal).
2)      Khiyar at-ta’yin (opsi penentuan), yaitu suatu opsi yang diajukan sebagai klausul dalam perjanjian biasanya oleh pihak keduanya bahwa objek perjanjian itu terdiri beberapa macam yang dapat dipilih untuk ditentukan olehnya.
3)      Khiyar ar-ru’yah (opsi setelah melihat), yaitu khiyar (opsi) yang dimiliki oleh pihak yang ketika melakukan transaksi belum mengetahui objeknya, sehingga ketika ia melihat objeknya ia mempunyai opsi untuk membatalkan akad atau meneruskannya.
4)       Khiyar al-‘aib (opsi cacat), yaitu khiyar (opsi) yang dimiliki  oleh pihak kedua untuk mengembalikan objek perjanjian apabila ternyata mengandung cacat. Khiyar cacat tidak diperjanjikan, melainkan merupakan ketentuan undang-undang syarak.[9]

Pembatalan perjanjian harus melalui prosedur yang dibenarkan oleh hukum perjanjian dalam islam, yaitu:
1)      Memberi tahu terlebih dahulu kepada pihak yang melakukan perjanjian, misalnya kreditur memberitahukan kepada debitur atau sebaliknya.
2)      Mengemukakan alasan –alasan diajukannya pembatalan berikut bukti-bukti nya.
3)      Memberikan tenggang waktu agar pihak yang akan menerima pembatalan mempersiapkan keadaan.
4)      Pembatalan harus dilakukan dengan jalan damaisehingga tidak mengakibatkan permusuhan dan putus silaturrahmi.[10]

D.    Berakhirnya Akad

Akad dapat berakhir dengan pembatalan, meninggal dunia, atau tanpa adanya izin dalam akad maukuf (ditangguhkan)
1.      Akad akan habis dengan pembatalan.
Akad dengan pembatalan, terkadang dihilangkan dari asalnya, seperti pada masa khiyar, terkadang dikaitkan pada masa yang akan datang, seperti pembatalan dalam sewa-menyewa dan pinjam-meminjam yang telah disepakati selama lima bulan, tetapi sebelum sampai lima bulan telah dibatalkan.[11]
Pada akad ghair lazim, yang kedua pihak dapat membatalkan akad, pembatalan ini sangat jelas, seperti pada penitipan barang, perwakilan, dan lain-lain, atau yang ghair lazim pada satu pihak dan lazim pada pihak lainnya, seperti gadai. Orang yang menerima gadai dibolehkan membatalkan akad walaupun tanpa sepengetahuan orang yang menggadaikan barang.

Adapun pembatalan akad lazim, terdapat dalam beberapa hal berikut:[12]
a.       Ketika akad rusak
b.      Adanya khiyar
c.       Pembatalan akad
d.      Tidak mungkin melaksanakan akad
e.       Masa akad berakhir


[1] Rachmat Syafe’i, Fiqh Muamalah, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2001), 43-44 
[2] Rachmat Syafe’i,Fiqih Muamalah(Bandung:Pustaka Setia,2001)225
[3] Ibid., 45
[4] Ibid., 50-51
[5] Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,2010), 45
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,2010),  246-248
[7] Ibid., 251
[8] Ibid., 255
[9] Ibid., 258-260
[10] Wawan Muhwan Hariri,Hukum Perikatan:dilengkapi hukum perikatan islam,(Bandung:Pustaka Setia,2011), 236
[11] Rachmat Syafe’i, Fiqh Muamalah, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2001), 70
[12] Ibid., 70

Comments

Popular posts from this blog

Amalan Perubatan Yang Bercanggah Dengan Islam

Hijabi kena amal 10 petua lama ini untuk elak rambut bau hapak

4 Langkah untuk Menghilangkan Bau Badan